ADOPSI
A. Pendahuluan
Anak merupakan anugerah terindah yang
tidak tergantikan dalam sebuah keluarga. Setiap orang yang berumah tangga
sangat menginginkan akan hadirnya seorang anak. Anak dapat memberikan hiburan
tersendiri kepada orang tua di kala mereka penat dengan kegiatan sehari-hari.
Selain itu, anak juga merupakan penerus keturunan dalam keluarga. Namun, tidak
semua keluarga memiliki kesempatan untuk memiliki anak kandung. Banyak hal yang
menyebabkan hal ini, bisa jadi karena alasan medis, karena usia, atau karena
memang belum dipercaya oleh Tuhan untuk memiliki anak.
Bagi keluarga yang belum dikaruniai
anak, adopsi merupakan salah satu jalan yang ditempuh untuk memiliki seorang
anak. Ada beberapa motif yang dijadikan alasan seseorang atau keluarga mengadopsi
anak, mulai dari alasan belum dikaruniai keturunan, untuk meringankan beban
orang tua kandung si anak, dan sebagainya.
Pengangkatan anak (adopsi) telah ada
sejak jaman dulu. Di Indonesia, pengangkatan anak di atur oleh undang-undang,
meskipun masing-masing etnis atau golongan masyarakat memiliki aturan
tersendiri mengenai pengangkatan anak ini. Hal ini mengakibatkan peraturan
perundang-undangan yang ada seringkali berbenturan dengan hukum adat atau
agama, sedangkan islam juga memiliki aturan tersendiri mengenai hukum adopsi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pendahuluan di atas, dapat
ditarik beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah
yang dimaksud dengan adopsi?
2. Motivasi
apa saja yang menjadikan seseorang melakukan adopsi?
3. Bagaimana
hukum adopsi menurut Islam?
C. Pembahasan
1. Pengertian Adopsi
Kata
adopsi berasal dari bahasa Inggris “adoption” yang berarti pengangkatan
atau pemungutan sehingga sering dikatakan adoption of child yang artinya
pengangkatan atau pemungutan anak. Dalam bahasa Arab, adopsi dikenal dengan
istilah attabanni, yang dimaksudkan sebagai mengangkat anak, memungut
atau menjadikannya anak.[1]
Sedangkan
pengertian adopsi menurut istilah, dapat didefinisikan sebagai berikut; pertama, adopsi adalah mengambil anak orang lain untuk
diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, dan diperlakukan
oleh orang tua angkatnya seperti anak kandungnya sendiri, tanpa memberi status
anak kandung pada anak tersebut. Kedua, mengambil anak orang lain untuk
diberi status sebagai anak kandung, sehingga anak tersebut berhak memakai nasab
orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya, dan hak-hak lainnya
sebagai hubungan anak dengan orang tua.[2]
Pengertian
pertama menggambarkan bahwa anak angkat itu sekadar mendapatkan pemeliharaan
nafkah, kasih sayang dan pendidikan, dan tidak dapat disamakan dengan status
anak kandung, baik dari segi pewarisan maupun dari perwalian. Hal ini dapat
disamakan dengan anak asuh menurut istilah sekarang ini. Pengertian kedua
menggambarkan pengangkatan anak tersebut sama dengan pengangkatan anak seperti
yang terjadi di jaman jahiliyah, di mana anak angkat itu sama statusnya dengan
anak kandung, ia dapat mewarisi harta benda orang tua angkatnya dan dapat
meminta perwalian kepada orang tua angkatnya bila ia akan dinikahi.
Praktek adopsi di Indonesia, seperti di
Bali, beberapa di antaranya dilakukan dengan upacara keagamaan dan dengan
pengumuman serta penyaksian pejabat dan tokoh agama agar terang statusnya.
Setelah upacara adopsi itu selesai, maka anak tersebut resmi menjadi anggota
penuh dari kerabat keluarga yang mengangkatnya, dan terputus hak warisnya
dengan kekerabatan atau keluarga yang lama sebagaimana seperti penjelasan
pengertian adopsi yang kedua. Di Sulawesi Selatan, anak angkat masih ada
hubungan waris dengan orang tua kandungnya dan keluarganya, dan ia tidak berhak
menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya, tetapi ia dapat diberi hibah atau
wasiat. Sementara itu, anak angkat di suku Jawa juga masih tetap ada hubungan
kekerabatan dengan orang tua kandungnya. Ia masih mendapat hak waris dari orang
tuanya dan juga mendapatkan hak waris dari orang tua angkatnnya namun bagian
hak warisnya tidak penuh seperti bagian hak waris anak kandung.[3]
Sedangkan menurut Islam, adopsi adalah pengangkatan
anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang,
dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anak kandungnya sendiri,
tanpa memberi status anak kandung pada anak tersebut. Islam melarang praktek
adopsi yang menjadikan anak angkat berstatus sebagai anak kandung karena
pengangkatan anak tersebut juga tidak dapat memutus pertalian antara anak
angkat tersebut dengan orang tua kandungya. Anak tersebut tetap memakai nasab
orang tua kandungnya dan tidak boleh memakai nasab orang tua angkatnya,
sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Ahzab : 4-5 sebagai berikut:[4]
مَّا
جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِّن قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ
اللَّائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءكُمْ أَبْنَاءكُمْ
ذَلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ
﴿٤﴾ ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءهُمْ
فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم
بِهِ وَلَكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
﴿٥﴾
Artinya:
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi
seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan
isteri-isterimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan
anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah
perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia
menunjukkan jalan (yang benar).
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu)
dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi
Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah
mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa
atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa
yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Q.S. al-Ahzab : 4-5)
2. Motivasi orang melakukan adopsi
Ada
beberapa motivasi yang melandasi pengangkatan anak di Indonesia, sehingga merupakan
suatu kebutuhan hidup masyarakat. Motivasi tersebut antara lain:[5]
a. Karena tidak mempunya anak.
b. Karena motivasi kasih sayang
terhadap anak yang tidak memiliki orang tua, atau anak dari orang tua yang
tidak mampu.
c. Karena ia hanya mempunyai anak
perempuan, sehingga mengangkat anak laki-laki atau sebaliknya.
d. Untuk menambah jumlah keluarga,
karena mungkin berkaitan dengan kepentingan keperluan tenaga kerja dan
sebagainya.
e. Anggapan bahwa dengan mengadopsi
anak, pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak akan segera dikaruniai
anak, dan lain-lain.
Pengangkatan
anak didasari dengan motivasi yang berbeda-beda, maka Islam perlu menata
kembali tata cara pengangkatan anak, sehingga dapat dibedakan antara anak
kandung dan dengan anak angkat, terutama hak-hak yang berkaitan dengan
pewarisan, hubungan mahram, dan status perwalian (dalam masalah perkawainan),
karena hal ini terkait dengan masalah ibadah antara lain misalnya hubungan
mahram, dapat membatalkan wudhu antara bapak dengan anak angkatnya yang
perempuan, padahal lain halnya dengan anak kandung yang tidak demikian.
3. Hukum Adopsi menurut Islam
Islam
menetapkan bahwa antara orang tua angkat dengan anak angkatnya tidak terdapat
hubungan nasab, kecuali hanya hubungan kasih sayang dan hubungan tanggung jawab
sebagai sesama manusia. Karena itu, antara keduanya dapat berhubungan tali
perkawinan apabila antara anak angkat dan orang tua angkat tersebut bukan
mukhrim.
Begitu
juga halnya Rasulullah saw. diperintahkan oleh Allah mengawini bekas istri Zaid
sebagai anak angkatnya. Berarti antara Rasulullah dengan Zaid, tak ada hubungan
nasab, kecuali hanya hubungan kasih sayang sebagai bapak angkat dengan anak
angkatnya. Firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 37 :[6]
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ
اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ
اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ
وَاللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَراً زَوَّجْنَاكَهَا
لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ
إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَراً وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولاً ﴿٣٧﴾
Artinya:
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata
kepada orang yang Allah telah melimpahkan ni`mat kepadanya dan kamu (juga)
telah memberi ni`mat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah
kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah
akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih
berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada
keberatan bagi orang mu'min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat
mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada
isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. QS.
Al-Ahzab ( 33 : 37 )
Yang dimaksud dengan orang yang Allah
telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid bin Haritsah. Allah telah
melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam. Nabi Muhammad
pun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya dan
mengangkatnya menjadi anak. Ayat ini memberikan pengertian bahwa orang boleh
mengawini bekas isteri anak angkatnya.
Islam tetap membolehkan adopsi dengan
ketentuan:[7]
a.
Nasab anak
angkat tetap dinisbatkan kepada orang tua kandungnya, bukan kepada orang tua
angkatnya.
b.
Anak angkat itu
dibolehkan dalam Islam, tetapi sekedar sebagai anak asuh, tidak boleh disamakan
dengan status anak kandung, baik dari segi pewarisan, hubungan mahram, maupun
wali (dalam perkawinan).
c.
Karena anak
angkat itu tidak boleh menerima harta warisan dari orang tua angkatnya, maka
boleh mendapatkan harta benda dari orang tua angkatnya berupa hibah.
d.
Pengangkatan
anak yang tidak didasari dengan niat atau tujuan yang tidak baik.
Dari segi kasih sayang, persamaan hidup,
persamaan biaya pendidikan antara anak kandung dengan anak angkatnya (adopsi)
dibolehkan dalam Islam. Jadi hampir sama statusnya dengan anak asuh.
Faktor yang dilarang dalam adopsi antara
lain:[8]
a. Menasabkan
seseorang bukan kepada bapaknya sendiri.
b. Menggauli
mereka seperti anak sendiri, sehingga ia seakan-akan mahram bagi anak perempuan
kita dan sebaliknya. Mengadopsi tidak menjadikan ia itu halal untuk berduaan.
Akan tetapi dia tetap asing, sehingga ia tidak boleh berdua, tidak boleh
melihat sebagian aurat wanita di rumah itu, boleh dinikahi oleh anggota keluarga
tersebut dan lain-lain.
c. Pengangkatan
anak didasari dengan niat atau tujuan yang tidak baik.
D. Kesimpulan
Adopsi
memiliki dua pengertian; pertama, adopsi adalah mengambil
anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih
sayang, dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anak kandungnya
sendiri, tanpa memberi status anak kandung pada anak tersebut. Kedua,
mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung, sehingga
anak tersebut berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta
peninggalannya, dan hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tua.
Sedangkan menurut Islam, adopsi adalah
pengangkatan anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian
dan kasih sayang, dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anak
kandungnya sendiri, tanpa memberi status anak kandung pada anak tersebut.
Islam membolehkan adopsi dengan
ketentuan; tidak menasabkan seseorang bukan kepada bapaknya sendiri, tidak menggauli
mereka seperti anak sendiri, sehingga ia seakan-akan mahram bagi anak perempuan
kita dan sebaliknya, dan tidak dikarenakan niat atau tujuan yang tidak baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Masjfuk Zuhdi, Masail
Fikiyah, (Jakarta: PT. Midas Sura Grafindo, 1987), 28
Wawan Sjahriyanto, Quran
Player Versi 2.0.1.0, (2005)
http://www.daniexe.co.cc/2009/06/adopsi-dalam-pandangan-islam.html.
Jum’at, 22 April 2011. Pukul 16.30 WIB.
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/fatwa/10/06/13/119639-mengadopsi
-anak-menurut-hukum-islam. Jum’at, 22 April 2011. Pukul 16.30
WIB.
[1] http://www.daniexe.co.cc/2009/06/adopsi-dalam-pandangan-islam.html
[2]
Masjfuk Zuhdi, Masail Fikiyah, (Jakarta: PT. Midas Sura Grafindo, 1987), 28
[3] Zuhdi,
28-29
[4]
Wawan Sjahriyanto, Quran Player Versi 2.0.1.0, (2005)
[5] http://www.daniexe.co.cc/2009/06/adopsi-dalam-pandangan-islam.html
[6]
Wawan Sjahriyanto, Quran Player Versi 2.0.1.0, (2005)
[7] Zuhdi,
31-32
[8]http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/fatwa/10/06/13/119639-mengadopsi-anak-menurut-hukum-islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar